Sabtu, 07 Mei 2011

Studi Kelayakan Bisnis bab X

BAB X. CONTOH PERHITUNGAN ANALISA PENDUKUNG

Beberapa contoh perhitungan analisa pendukung
Untuk mendukung tingkat keamanan dalam investasi / penanaman modal, maka dilakukan beberapa analisa pendukung melalui beberapa metode sebagai berikut :
1. Metode Discount Cash-Flow
A. Metode Net Present Value ( NPV ).
B. Metode Internal Rate of Return (IRR).

A. Metode net present value
Net Present Value adalah Present Value Net Cash-Flows dikurangi Present Value Outlay (Net Investment).

Langkah-langkah perhitungan dengan NPV.
a. Menentukan discount rate yang akan dipergunakan dalam hal ini dapat dipakai :
1) Biaya modal (cost of capital ) atau
2) Tingkat keuntungan (rate of return) yang dikehendaki.

b. Menghitung PV dari Net Cash-Flows dengan discount rate di atas.
c. Menghitung PV dari Net Outlay (pengeluaran untuk investasi).
d. Menghitung NPV dengan mengurangkan PV Net Outlay pada PV Net Cash-Flows.

Apabila NPV positif berarti rate of return dari proyek lebih tinggi dari discount rate.
Kriteria : Proyek dapat dipertimbangkan bila NPV ³ 0.

Contoh 1 :
Proyek dengan cash-flow yang besarnya sama (dalam ribuan rupiah).
Net outlay : 2.000
Net Cash-Flows : 1.000 / tahun selama 3 tahun.
Nilai residu : 0
Cost of capital ( r ) = 10 %
Apabila Net Cash-Flows sama, maka dapat dipergunakan tabel B, sehingga dapat di cari discount faktor pada n = 3 dan rate = 10 % yaitu = 2,487.

PV Net Cash-Flows = 2,487 x 1.000 =2.487
PV Net Outlay = 2.000
Net Present Value = 487
NPV positif berarti rate of return dari proyek tersebut lebih dari 10 % yang berarti lebih besar dari biaya modal ( cost of capital ), sehingga proyek dapat dipertimbangkan.

Contoh 2 :
Proyek dengan net cash-flow yang besarnya tidak sama ( dalam ribuan rupiah ) :
Net Outlay = 5.000
Net Cash-Flow tahun ke 1 = 2.000
                                            2 = 4.000
                                            3 = 1.000
Nilai Residu = nol
Tingkat keuntungan yang dikehendaki = 30%.

Seperti telah dibicarakan di muka bahwa untuk discount rate dapat dipakai biaya modal dan dapat pula tingkat keuntungan yang dikehendaki, sehingga disini discount rate ditetapkan 30%.

Jawab :
Karena net cash-flows tidak sama besar, maka dipakai tabel A.
PV Net Cash-Flows :

Tahun ke 1 = 0,769 x 2.000 = 1.538
                  2 = 0,592 x 4.000 = 2.368
                 3 = 0,455 x 1.000 =     455
                                                     4.361
PV Net Outlay                 =         5.000
Net Present Value          =        ( 639 )

NPV negatif ini berarti rate of return dari proyek kurang dari 30%. Apabila pemilik modal tetap berpendirian bahwa hanya mau menanam modal kalau rate of returnnya 30%, maka berarti proyek ini tidak dapat dipertimbangkan.

A. METODE Internal Rate of Return
Internal Rate of return ( IRR ) adalah discount rate di mana PV Net Cash-Flow = PV net Outlay atau discount rate di mana NPV = 0.
IRR menunjukkan rate of return dari proyek yang nantinya akan dibandingkan dengan biaya modal atau dengan tingkat keuntungan yang dikehendaki.

Langkah-langkah perhitungan dengan IRR :
a. Menghitung IRR dari proyek.
b. Membandingkan IRR dengan biaya modal atau tingkat keuntungan yang dikehendaki.

Contoh 1 : Proyek dengan net cash-flow yang besarnya sama. ( dalam ribuan rupiah ).
Net Outlay : 9.340
Net Cash-Flow : 5.000 / tahun, selama 3 tahun
Karena cash-flow sama maka dipergunakan tabel B.

Dari pembicaraan di muka telah diketahui bahwa :
PV = dicsount factor x FV.

PV
Discount Factor = PV / FV
                              = 9340 / 5000  = 1,868

Discount factor 1,868 pada n = 3 terletak pada rate 28 % ( lihat tabel B ), IRR = 28 %.
Apabila diketahui biaya modal 20%, maka berarti proyek ini dapat dipertimbangkan karena IRR lebih dari biaya modal.

Contoh 2 : Proyek dengan cash-flow besarnya tidak sama. ( dalam ribuan rupiah ) :
Net cash-outlay : 7.608
Net cash-flow :
Tahun ke 1 : 2.000
                 2 : 6.000
                 3 : 4.000
IRR dicari secara coba-coba (trial & error).
Discount pada rate 26 %

PV Net Cash-Flow :

Tahun Ke 1 : 0,794 x 2.000 = 1.588
                  2 : 0,630 x 6.000 = 3.780
                  3 : 0,500 x 4.000 = 2.000
                                                    7.368
Ternyata PV pada 26 % kurang dari 7.608 ( Net Outlay ) berarti rate yang dipakai terlalu tinggi.

Dicoba lagi pada rate 20 %
PV Net Cash Flow :
Tahun Ke 1: 0,833 x 2.000 = 1.666
                  2: 0,694 x 6.000 = 4.164
                  3: 0,579 x 4.000 = 2.316
                                                   8.146
Ternyata PV pada 20 % lebih besar dari 7.608 ( Net Outlay ) berarti rate yang dipakai terlalu rendah.

Kesimpulan IRR berada di antara 20 % dan 26 %.
Interpolasi Present Value Rate
a. 7.368 26 %
b. 7.608 x
c. 8.146 20 %

Selisih 778 diimbangi dengan 6 % ( selisih C dengan A )
Selisih 538 diimbangi dengan ( X-20% ) ( selisih C dengan B )

538 x - 20% = --------- ( 6%)
778 x - 20% = 4 %
x = 24%
IRR = 24%

Dalam proses coba-coba dapat timbul suatu pertanyaan yaitu : Harus mulai dari mana atau dari rate berapa %.
Ada suatu cara sederhana untuk membantu menemukan rate dimana sebaiknya dimulai. Net Outlay dibagi dengan rata-rata cash-flow, hasilnya dilihat pada tabel B.

Kalau diambil contoh di atas :
Rata-rata Cash-flow = (2.000+6000+4.000) : 3 = 4.000
Net Outlay = 7.608
Rata-rata Cashflow = 4.000
= 1.902

Pada Tabel-B, untuk n=3 maka angka 1.902 terletak sekitar rate 26%, proses coba-coba dimulai dari 26%
2. Metode Konvensional dalam Analisa lnvestasi
a) Metode Payback:
Yang dimaksud dengan Payback adalah jangka waktu yang diperlukan untuk mendapatkan kembali kembali jumlah modal yang diinvestasikan. Semakin cepat modal dapat diperoleh kembali berarti semakin kecil resiko yang harus dihadapi

Contoh :
Net outlay = 10.000

TAHUNAN KUMULATIF
Net Cash-Flow
1   2.000     2.000
2   4.000     6.000
3   5.000   11.000
4   3.000   14.000
5   3.000   17.000
Payback = 2,8 tahun.

Kelemahan metode Payback :
1. Tidak memperhatikan “ Time Value of Money “.
2. Tidak memperhatikan cash-flow yang diterima setelah masa payback.

Contoh :
                           0            1            2          3
Proyek A ( 10.000 )   6.000   5.000     -
Proyek B ( 10.000 )   4.000   5.000   10.000

Masa Payback Proyek A = 1,8 tahun.
Masa Payback Proyek B = 2,1 tahun.

Kalau dinilai proyek atas dasar payback semata-mata maka proyek A lebih baik dari proyek B.
Namun kalau dilihat cash flow yang masih akan diterima setelah masa payback lewat, maka proyek A hanya akan menerima 1.000, sedang proyek B masih akan menerima 9.000.

b). Metode Accounting Rate of Return
Metode ini menilai suatu proyek dengan memperhatikan rasio antara rata-rata laba bersih dengan jumlah modal yang ditanam (initial investment) atau rata-rata modal yang tertanam (average investment).

Contoh :

Proyek A, ( Rp. 000 ).
Nilai proyek (initial investment) = 10.000
umur proyek 4 tahun dan nilai residu = nol.
Rata-rata laba bersih per tahun = 1.500.

a. Rate of return on initial investment
Rata-rata laba bersih = 1.500
Initial investment 10.000
= 15 %

b. Rate of return on average investment.
Rata-rata modal yang ditanam (average investment) dihitung (nilai awal+nilai akhir )/2.
Dalam contoh di atas (10.000 + 0) : 2 = 5.000
rata-rata laba bersih = 1.500
rata-rata modal yang ditanam 5.000
= 30 %

Kelemahan Metode Accounting Rate Return
1. Tidak memperhatikan Time Value of Money
2. Untuk proyek-proyek yang rata-rata laba bersihnya sama tetapi jumlah per tahunnya berbeda atau umurnya berbeda, penilaian dengan metode ini menyesatkan.

Contoh :

PROYEK                                   A                B             C
Jumlah investasi                10.000    10.000   10.000
Laba bersih tahun ke  1       1.000      3.000     2.000
                                        2       2.000      2.000     2.000
                                        3       3.000      1.000     2.000
                                        4            -               -         2.000
Jumlah laba bersih               6.000      6.000    8.000
Umur proyek                              3 th         3 th        4 th
Rata-rata laba bersih/th     2.000      2.000    2.000
Rate of return :
on initial investment               20%         20%      20%
on average investment            40%         40%      40%

Menurut Accounting Rate of return, proyek A, B dan C sama baiknya, karena menghasilkan rate of return yang sama. Padahal jelas bahwa ke tiga proyek tersebut tidaklah sama baiknya.

3. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)
Benefit-cost ratio B/C ratio disebut juga dengan istilah “profitability index” pendekatan ini hampir sama dengan teknik NPV, hanya saja B/C ratio mengukur present value untuk setiap rupiah yang diinvestasikan sementara teknik NPV menunjuk pada beberapa rupiah kelebihan present value cash inflow, diatas present value initial investment.

Perhitungan B/C ratio dilakukan sebagai berikut :
B/C Ratio = Present Value Cash Inflow / Present Value Initial Investment

Selama B/C ratio > 1, maka usulan proyek dapat diterima tetapi apabila sebaliknya maka usulan proyek tersebut harus ditolak. B/C ratio yang lebih besar dengan 1 berarti NPV lebih besar dari atau sama dengan nol (0).

Contoh :
B/C ratio untuk perusahaan : “TERUS MAJU” dapat dengan mudah ditentukan yaitu dengan menggunakan data present value yang sudah disajikan berdasarkan rumus diatas, maka B/C ratio untuk masing-masing proyek adalah sebagai berikut (A dan B) :
B/C ratio proyek A = Rp 8.710.000,00 / Rp 6.000.000,00 = 1,45
B/C ratio proyek B = Rp 7.838.100,00 / Rp 7.200.000,00 = 1,37

Kedua proyek tersebut dapat diterima karena B/C rasionya lebih besar dari 1 (sepanjang proyek tersebut bersifat independen), dan apabila diranking, maka proyek A akan ditempatkan diatas karena untuk setiap rupiah yang diinvestasikan akan diperoleh return sebesar Rp 1,45 sedangkan proyek B hanya menghasilkan Rp1,37 untuk setiap rupiah yang diinvestasikan.

Ranking yang diperoleh disini sama dengan yang dihasilkan dengan menggunakan teknik NPV, keadaan seperti ini tidak selalu terjadi, karena bukan mustahil dijumpai suatu situasi dimana ranking yang dihasilkan dalam kedua teknik tesebut akan bertolak belakang satu sama lain, misalnya ranking 1 dalam teknik NPV akan diranking ditempat ke-2 dalam teknik NPV akan diranking teratas dalam teknik B/C ratio.

Contoh :
Perusahaan penggilingan beras “OJOLALI ” sedang mempertimbangkan untuk membeli salah satu dari 2 buah mesin yang tersedia yang bersifat mutually exclusive.
Data dari kedua mesin tersebut disajikan pada tabel berikut :

Tabel
Pembandingan Antara NPV Dengan B/C Ratio

Keterangan                                               Mesin X                    Mesin Y
1. Present Value cash inflow               Rp 300.000,00        Rp 600.000,00
2. Present Value initial investment    Rp 200.000,00        Rp 450.000,00
3. Net present value (1-2)                     Rp 100.000,00        Rp 150.000,00
4. B/C ratio (1 : 2)                                        1,50                            1,33

Dari hasil perhitungan tabel tersebut maka kedua proyek/mesin tersebut dapat diterima baik dengan menggunakan teknik NPV karena net present value yang diperoleh lebih besar dari 0, maupun dengan menggunakan teknik B/C ratio karena hasil yang diperoleh adalah lebih besar dari 1.
Apabila kedua mesin tersebut diranking berdasarkan teknik NPV, maka mesin Y akan diranking lebih atas akan tetapi sebaliknya apabila diranking berdasarkan teknik B/C ratio maka ranking tersebut akan berbalik dimana mesin X akan diranking lebih tinggi. Keadaan seperti diatas bukanlah hal yang luar biasa dan proyek mana yang akan dipilih (dalam mutually exclusive projects) akan sangat tergantung pada tekanan yang diberikan oleh perusahaan, “return” yang besar untuk setiap rupiah yang diinvestasikan atau “net present value” yang besar yang lebih ditekankan.
Kesulitan lain yang seringkali dijumpai dalam penggunaan teknik B/C ratio adalah dalam hal mengklasifikasikan pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam tahun-tahun sesudah tahun pertama investasi dilakukan, apakah pengeluaran tersebut dianggap sebagai tambahan investasi, ataukah sebagai faktor yang mengurangi jumlah cash inflow.

Contoh :
Perusahaan “PERKASA” sedang mempertimbangkan untuk membeli salah satu diantara mesin A dan mesin B.
Mesin A membutuhkan initial investment sebesar Rp 1.500.000,00 dan akan menghasilkan cash inflow masing-masing sebesar Rp 1.000.000,00 pada tahun pertama dan kedua.
Mesin B juga membutuhkan initial investment sebesar Rp 1.500.000,00 dan cash inflow sebesar Rp 2.000.000,00 masing-masing untuk tahun pertama dan kedua, akan tetapi disamping cash inflow tersebut, pada tahun pertama dan kedua juga dibutuhkan pengeluaran masing-masing sebesar Rp 1.000.000,00.
Tingkat bunga yang digunakan untuk meng-diskonto initial investment dan cash inflow adalah 10 %.

Present value inflow proyek A pada tingkat discount sebesar 10 % adalah :
PA2 = A.(PV1.FA 10%.2)
        = Rp 1.000.000,00 x 1,735
        = Rp 1.735.000,00

B/C ratio proyek A = Rp 1.735.000,00 : Rp 1.500.000,00 = 1,16
Untuk mengevaluasi proyek B terdapat sedikit kesulitan sehubungan dengan adanya cash outflow pada tahun pertama dan tahun kedua.
Pada cash flow proyek B akan tampak sebagai berikut :

Proyek B                             Tahun 0               Tahun 1              Tahun 2
Cash inflow                              -                 Rp 2.000.000         Rp 2.000.000
Cash outflow                (Rp 1.500.000)  (Rp 1.000.000)       (Rp 1.000.000)

Dengan menggunakan teknik net present value, maka hasil yang diperoleh baik untuk proyek A maupun B adalah sama yaitu sebesar Rp 235.000,00 (present value cash inflow dikurangi dengan present value keseluruhan out flow). Akan tetapi, dengan menggunakan pendekatan B/C ratio akan dijumpai suatu kesulitan sehubungan dengan penentuan klasifikasi cash outflow yang terjadi pada tahun pertama dan kedua.
Apabila cash outflow tersebut dianggap sebagai penggurangan cash inflow, maka B/C ratio yang diperoleh adalah sama dengan B/C ratio proyek A, yaitu sebesar 1,16 dan sebaliknya apabila cash outflow dalam tahun pertama dan kedua tersebut dianggap sebagai tambahan investasi, maka B/C ratio yang diperoleh akan jauh lebih kecil.

Present value cash inflow = Rp 2.000.000 x 1,735 = Rp 3.470.000
Present value outflow = Rp 1.500.000 + (1.000.000 x 1,735) = Rp 3.235.000

4. Sensitivity Analysis
Salah satu cara yang termudah dalam memperkirakan resiko dari suatu proyek adalah dengan menggunakan Sensitivity Analysis yang berarti bahwa di dalam menilai suatu proyek digunakan beberapa jumlah return / penghasilan yang mempunyai “kemungkinan” untuk diperoleh, hal ini akan sangat berguna dalam situasi yang benar-benar tidak menentu (benar-benar tidak ada kepastian).
Sensitivity analysis ini dilakukan dengan jalan mengevaluasikan suatu proyek berdasarkan sejumlah estimasi atas cash inflow yang mungkin akan diterima.
Hal ini dimaksudkan agar diperoleh suatu “feeling” atau perkiraan dari variabilitas hasil-hasil yang akan diperoleh.
Salah satu cara yang paling sering digunakan adalah mengestimasikan hasil yang terjelek (terlalu pesimis), hasil yang paling mungkin untuk dicapai, dan hasil yang terlalu optimis dari suatu proyek.

Dalam hal seperti ini, maka risiko dari suatu proyek akan direfleksikan oleh “range” dari hasil yang diharapkan dimana pengukuran seperti ini merupakan penggukuran risiko yang paling dasar sekali.
Range dapat ditentukan dengan melihat selisih antara hasil yang terbaik dengan hasil yang terjelek (antara yang sangat pesimis dengan yang sangat optimis ).
Semakin besar range suatu proyek maka semakin besar variabilitas atau risiko yang dikandung oleh proyek tersebut.

Contoh :
Perusahaan Pembiayaan “LIKUID” sedang mengevaluasi dua buah proyek A dan B, yang mutually exclusive, initial investment untuk masing-masing proyek tersebut adalah Rp 10.000.000 dan cash inflow yang “paling mungkin terjadi” masing-masing sebesar Rp 2.000.000/tahun untuk jangka waktu 15 tahun dan cost of capital perusahaan adalah sebesar 10 %.

Untuk menentukan atau memperkirakan tingkat risiko dari masing-masing proyek, maka manajemen perusahaan telah mengestimasikan cash inflow yang sangat pesimis dan sangat optimis untuk masing-masing proyek tersebut. Ketiga tingkat cash inflow serta range dari masing-masing proyek disajikan dalam tabel berikut :

Tabel
Proyek Cash Inflow dari Proyek A dan B

Keterangan                              Proyek A              Proyek B
Initial investment                  Rp 10.000.000 Rp 10.000.000
Estimasi cash inflow :
- terlalu pesimis                    Rp  1.500.000   Rp 0
- paling mungkin                   Rp  2.000.000   Rp 2.000.000
- terlalu optimis                    Rp 2.500.000    Rp 4.000.000
Range                                       Rp 1.000.000    Rp 4.000.000

Dengan membandingkan range dari cash inflow untuk masing-masing proyek maka dapat dilihat bahwa risiko yang dikandung oleh proyek A lebih rendah dari pada proyek B karena rangenya hanya sebesar (Rp 2.500.000 – Rp 1.500.000) = Rp 1.000.000 dibandingkan dengan proyek B sebesar (Rp 4.000.000 – Rp 0) = Rp 4.000.000
Dengan menggunakan teknik perhitungan NPV = PV cash-flow – PV investasi maka dapat ditentukan besarnya net present value dari masing-masing tingkat “kemungkinan” cash flow untuk kedua proyek tersebut.

Sebagai contoh misalnya :
NPV = PV cash inflow – PV investasi
        = cash inflow x (PVI.FA 10 %.15) – Rp 10.000.000
        = Rp 1.500.000 x 7,606 – Rp 10.000.000
        = Rp 1.409.000

Hasil keseluruhan perhitungan tersebut disajikan dalam tabel berikut.

Tabel
Net Present Value untuk masing-masing Proyek pada Tingkat Kemungkinan Cash Inflow yang berbeda-beda
Kemungkinan Cash inflow Net Present Value

                                             Proyek A                            Proyek B
Terlalu pesimis                Rp 5.212.000                     Rp 9.015.000
Paling mungkin                Rp 7.606.000                    ( Rp 10.000.000 )

Terlalu optimis                Rp 5.212.000                     Rp 20.424.000
Range                                 Rp 1.409.000                     Rp 30.424.000

Dari tabel tersebut terlihat tampak bahwa sensitivity analysis dapat memberikan informasi yang bermanfaat tentang proyek-proyek karena sekalipun dua buah proyek akan memberikan hasil yang sama apabila didasarkan atas cash inflow yang paling mungkin, tetapi apabila range inflow ikut dipertimbangkan maka keadaannya menjadi lain.
Dengan membandingkan range net present value antara proyek A sebesar Rp7.606.000 dengan proyek B sebesar Rp 30.424.000 maka jelaslah bahwa risiko proyek B lebih besar dibandingkan dengan proyek A.
Penentuan proyek mana nantinya akan dipilih , sangatlah tergantung pada sikap pemilik terhadap risiko.

Apabila pemilik termasuk seorang yang konservatif, maka pilihan akan jatuh ke proyek A, sebaliknya apabila termasuk orang yang berani menanggung resiko, maka proyek B yang akan dipilih.

Sekalipun penggunaan range dalam sensitivity analysis masih merupakan suatu pengukuran yang kasar, tetapi hal tersebut sudah memberikan lebih dari suatu estimasi cash inflow kepada pemilik atau pemutus, sehingga dengan demikian, pengukuran yang “masih kasar” tersebut pun sudah dapat digunakan untuk memperkirakan risiko yang dihadapi.

Tidak ada komentar: